Avianti Armand
Negeri Para Peri
Andramartin
171 halaman
8.8 (Best Book)
Review
Saya tidak ingat sudah berapa tahun teman saya meminjamkan koleksi langka buku cetak Negeri Para Peri, tapi yang saya ingat adalah saya sudah membiarkan buku ini teronggok dan tergeletak begitu saja tanpa ada hasrat untuk membaca hingga suatu malam ketika saya sedang bosan dan membongkar rak buku saya yang tidak terlalu banyak isinya, dan menemukan buku ini. Sampulnya berwarna putih pucat--jika itu mungkin terjadi--dan halamannya menguning dan tidak terlihat mengintimidasi, tetapi itu hanyalah fasad. Negeri Para Peri adalah buku yang paling gelap yang pernah saya baca.
Saat sedang membaca Negeri Para Peri, album terbaru Jens Lekman,Life Will See You Now, sedang hot-hot-nya dibahas. Album terbaru musisi asal Swedia ini seperti semacam oksimoron: terdengar pahit, tetapi Lekman mengemasnya dengan ceria. Lekman ingin menyeimbangkan akan tema lagu yang gelap dan menyedihkan dengan nada-nada, alunan biola, dan synthesizer yang ceria. Negeri Para Peri terasa seperti kontradiksi. Saya merasa Armand tidak ingin repot-repot menyeimbangkan debut kumpulan cerpennya dengan menyelipkan cerita-cerita yang manis. Kalaupun ada cerita yang sedikit menghangatkan hati, Armand menutupnya dengan twist yang masam, seperti dalam cerita Mata.
Tema perselingkuhan, teleiophilia, darah, dan seksualitas mewarnai sebagian besar cerita dalam Negeri Para Peri. Seperti dalam cerpen pembuka, Ayah, yang menceritakan seorang gadis yang jatuh cinta pada kekasih ibunya, seorang pria yang seharusnya ia sebut ayah.Ayah juga menjadi penentu tone cerita berikutnya, dan terasa lebih gelap dari sana. Dalam highlight kumpulan cerpen ini, Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian yang terinspirasi dari tulisan pertama Daniel, putra Armand, Armand mengambil langkah yang lebih jauh dalam menceritakan dampak kekerasan dalam rumah tangga dengan cerita yang berdarah dan pembunuhan keji. Grotesque, barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan cerita ini. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian menggambarkan deformitas moral manusia yang diselipkan ke dalam sebuah cerita drama domestik. Kata-kata yang Armand gunakan cenderung sendu, tapi menyayat.
Tapi, Negeri Para Peri tidak hanya mengandalkan kata-kata Armand. Jika saya mencermati sejumlah foto-foto hitam putih dan layout buku yang ada di dalam buku ini, saya berpikir hal tersebut bukan sekadar sebagai nilai estetis, melainkan juga menggambarkan sejumlah agenda tersembunyi yang Armand miliki. Seperti dalam cerita Cahaya, kertas yang digunakan tiba-tiba diblok hitam dan warna huruf yang putih, seperti percikan cahaya yang kita lihat saat melewati terowongan gelap yang panjang. Dalam cerita Negeri Para Peri, cetakan huruf terlihat kabur, menggambarkan abstraksi negeri para peri yang Armand deskripsikan.
Saya belum pernah membaca sesuatu seperti Negeri Para Perisebelumnya, tetapi karya Armand yang pertama kali saya baca ini benar-benar mindblowing. Cantik, gelap, misterius, dan klandestin. Jika saya diberi kesempatan untuk memohon ampun, saya akan minta ampun karena sudah membiarkan buku ini teronggok.
EmoticonEmoticon