Annisa Ihsani
A untuk Amanda
Gramedia Pustaka Utama
264 halaman
8.2 (Best New Book)
Blurb
Amanda punya satu masalah kecil: dia yakin bahwa dia tidak sepandai kesan yang ditampilkannya. Rapor yang semua berisi nilai A, dia yakini karena keberuntungan berpihak padanya. Tampaknya para guru hanya menanyakan pertanyaan yang kebetulan dia tahu jawabannya.
Namun tentunya, tidak mungkin ada orang yang bisa beruntung setiap saat, kan?
Setelah dipikir-pikir, sepertinya itu bukan masalah kecil. Apalagi mengingat hidupnya diisi dengan serangkaian perjanjian psikoterapi. Ketika pulang dengan resep antidepresan, Amanda tahu masalahnya lebih pelik daripada yang siap diakuinya.
Di tengah kerumitan dengan pacar, keluarga, dan sekolahnya, Amanda harus menerima bahwa dia tidak bisa mendapatkan nilai A untuk segalanya.
Review
Ada apa, sih, remaja-remaja zaman sekarang dan Vampire Weekend? Sebelumnya saya membaca The Beginning of Everything yang juga menyebutkan band Ezra Koenig dan kawan-kawan ini, dan ketika saya menemukan hal yang serupa di A untuk Amanda, saya menduga pasti ada konspirasi di sini. Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu saya dan beberapa teman saya yang snob dan pongah sempat membahas sejumlah musisi yang hipster dan mainstream, seperti Vampire Weekend atau Arctic Monkeys, dan kami dengan pongahnya menertawakan jukstaposisi itu seakan-akan itu hal yang lucu. Tapi, tentu saja saya tidak akan membahas Vampire Weekend dalam review ini.
Boy, what a read. Setelah saya selesai membaca A untuk Amanda ini saya jujur saja merasa dilanda konflik. Di satu sisi, saya suka sekali dengan A untuk Amanda ini karena mengangkat sejumlah isu-isu dan nilai-nilai remaja yang saya junjung, seperti feminisme, depresi-adalah-penyakit-betulan-dan-tidak-boleh-dihakimi, dan kalau boleh saya rentangkan lagi sampai ke topik agnositisme dan pilihan kepercayaan seorang remaja. Tapi di sisi lain, saya merasa A untuk Amanda ini terasa sedikit berantakan, terutama dari segi latar, dan saya entah kenapa merasa beberapa bagian terasa cringeworthy. Tapi, sama seperti Vampire Weekend, sepertinya A untuk Amanda juga perlu dibahas dengan dikaji dengan jukstaposisi--dan jelas, A untuk Amanda sangat menarik untuk dikaji. Di dunia alternatif yang sempurna, A untuk Amanda mungkin menjadi bacaan wajib untuk remaja SMA di Indonesia karena kurikulum bahasa Indonesia di dunia alternatif yang sempurna akan lebih banyak diisi dengan membaca sastra--tidak, jangan berdebat dengan saya, menurut saya buku ini (dan semua buku di muka bumi) termasuk sastra--dan menuliskan bagaimana buku tersebut berhubungan dengan kehidupan murid-murid secara pribadi.
Tapi, pertama saya mau membahas soal latarnya, yang menurut saya jadi salah satu unsur intrinsik terkuat, tapi juga menjadi batu sandungan di buku ini. Membuat kota fiksi--atau negara fiksi--sebetulnya menyenangkan karena percaya atau tidak, saya menganggap kota fiksi adalah salah satu bentuk dari low fantasy dan saya bisa menyebut A untuk Amanda ini sebagai buku fantasi, in a way. Selain itu, membuat kota fiksi sejujurnya membuat penulis jadi lebih fleksibel dalam mengeksplorasi latar tempatnya. A untuk Amanda tidak mengambil latar di negara Indonesia karena: 1) tahun ajaran baru dimulai bulan September dan 2) orang-orang pada sibuk usrek. Tapi juga tidak mengambil latar di negara Amerika karena: 1) beberapa nama karakternya lokal dan 2) letaknya di daerah tropis. Lihat di mana masalahnya? Kota tempat tinggal A untuk Amanda ini jadi enggakbelievable. "Yee, lo kali aja yang minim imajinasi! Ini, kan, fantasi," kata seorang pembaca yang nyinyir. Mungkin memang benar, tetapi saya lebih menikmati latar tempat yang walaupun fiksional, tetapi tetap dapat dipercaya, karena itu lebih gampang membuat saya terhubung sama ceritanya. Oleh karena itu, saya mau seenaknya dan memutuskan untuk menyebut kota (dan negara) latar tempat ini sebagai Hanttula, sebuah teritorial kepulauan Amerika Serikat yang letaknya tidak jauh dari Guam di Samudra Pasifik. Saya sebetulnya menduga kalau Hanttula ini seperti semacam kota utopis yang dipikirkan oleh Ihsani, tempat remaja-remaja cerdas dan remaja-remaja cool bisa berdampingan satu sama lain, tempat remaja-remaja bebas memilih kepercayaan yang dianutnya tanpa ada celaan dari orang tuanya, tempat remaja-remaja memiliki orang dewasa yang menyayangi mereka.
Dan itu juga yang membuat A untuk Amanda ini menjadi wahana roller coaster yang menyenangkan. Ihsani memutuskan untuk mengangkat topik feminisme--yang menurut saya harus lebih banyak diangkat dalam novel fiksi remaja, mengingat sasaran novel fiksi remaja memang gadis-gadis remaja. Saya termasuk orang yang percaya kalau feminisme bukan berarti hanya wanita berhak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan lelaki, tetapi juga berarti bahwa lelaki berhak lepas dari sterotipe kalau lelaki harus kuat, lelaki harus berpikir, lelaki tidak boleh menangis. Memangnya kami robot tak berperasaan? Dan A untuk Amanda ini menyerempet sekali dengan nilai-nilai yang saya anut, meski hanya sedikit. But, I guess it's a good start, huh?
Topik mengenai depresi yang menjadi inti utama dari masalah ini pulalah yang membuat saya merasa kalau buku A untuk Amanda ini menjadi salah satu bacaan wajib buat remaja SMA di Indonesia di semesta lain yang utopis, karena saya percaya remaja tak berani mengakui kalau mereka menderita depresi, dan orang tua juga kadang tidak terlalu memedulikan masalah mental. Tapi ini masalah yang nyata, dan saya percaya di luar sana banyak sekali Amanda-Amanda di luar sana yang menderita dan berteriak dalam hati, sementara orang tua mereka hanya melengos dan bilang kalau mereka baik-baik saja dan berhenti mengarang-ngarang penyakit. Membaca A untuk Amanda mungkin bisa membantu mereka untuk mengakui bahwa mereka menderita penyakit dan untuk memberikan mereka keberanian untuk mengatakan kalau mereka sakit pada orang tua mereka. Percaya atau tidak, saya cukup merasakan apa yang Amanda rasakan karena, percaya atau tidak, saya dulu seperti Amanda sewaktu SMA. You know, effortlessly dan ongkang-ongkang di kelas, tetapi dapat nilai yang bagus, tetapi merasa kalau saya beruntung dan guru memberi saya nilai yang bagus karena memang reputasi saya, langsung luar biasa insecure kalau nilai saya turun. Saya ingat pernah nangis waktu dapat nilai 75 di Fisika. Saya selalu berkeringat dingin setiap kali ujian dan mau muntah, meskipun pada akhirnya yang saya dapatkan tidak seburuk yang saya bayangkan. Saya mengakui saya memang memiliki masalah mental--mungkin anxiety disorder?--tetapi saya tidak seberani Amanda untuk mengakuinya ke muka dunia. Jadi, sekarang kenapa A untuk Amanda jadi sangat penting untuk remaja di sana. Saya pikir memang remaja SMA zaman sekarang harus dituntut untuk lebih banyak membaca di bahasa Indonesia. Saya terkadang sedih kalau membaca tajuk mengenai minat baca Indonesia yang rendah. Don't they know what they're missing in this short life if they're not reading? Oh, dan remaja perlu menonton lebih banyak film--bukan hanya film blockbuster yang tayang di bioskop, tetapi juga film-film sederhana yang bisa membuat mereka berpikir dan menangis dan tertawa.
Oke, sebelum saya mengoceh lebih banyak mengenai bagaimana kurikulum bahasa Indonesia seharusnya, saya harus bilang kalau A untuk Amanda ini mungkin salah satuyoung adult lokal terbaik yang pernah saya baca. Keluhan saya terakhir mungkin banyaknya referensi fisika yang lumayan banyak dipakai, yang terkadang dipakai secara tidak wajar, tetapi saya tahu bagaimana susahnya menyelipkan referensi-referensi tanpa terdengar pretentiousdan Ihsani sudah melakukannya dengan sangat baik. Gaya terjemahannya, meskipun kesukaaan saya, terasa kaku karena dialognya jadi terasa kaku juga, dan saya bisa membayangkan kalau sang penulis ter-influence dari dialog-dialog remaja berbahasa Inggris.
Tapi, kan, saya sudah bilang kalau latarnya di kota fiksi bernamaHulatta Hanttula--sepertinya memberi nama ke kota fiksi di buku ini memang ide yang buruk--jadi saya enggak boleh nyinyir terlalu banyak.
Boy, what a read. Setelah saya selesai membaca A untuk Amanda ini saya jujur saja merasa dilanda konflik. Di satu sisi, saya suka sekali dengan A untuk Amanda ini karena mengangkat sejumlah isu-isu dan nilai-nilai remaja yang saya junjung, seperti feminisme, depresi-adalah-penyakit-betulan-dan-tidak-boleh-dihakimi, dan kalau boleh saya rentangkan lagi sampai ke topik agnositisme dan pilihan kepercayaan seorang remaja. Tapi di sisi lain, saya merasa A untuk Amanda ini terasa sedikit berantakan, terutama dari segi latar, dan saya entah kenapa merasa beberapa bagian terasa cringeworthy. Tapi, sama seperti Vampire Weekend, sepertinya A untuk Amanda juga perlu dibahas dengan dikaji dengan jukstaposisi--dan jelas, A untuk Amanda sangat menarik untuk dikaji. Di dunia alternatif yang sempurna, A untuk Amanda mungkin menjadi bacaan wajib untuk remaja SMA di Indonesia karena kurikulum bahasa Indonesia di dunia alternatif yang sempurna akan lebih banyak diisi dengan membaca sastra--tidak, jangan berdebat dengan saya, menurut saya buku ini (dan semua buku di muka bumi) termasuk sastra--dan menuliskan bagaimana buku tersebut berhubungan dengan kehidupan murid-murid secara pribadi.
Tapi, pertama saya mau membahas soal latarnya, yang menurut saya jadi salah satu unsur intrinsik terkuat, tapi juga menjadi batu sandungan di buku ini. Membuat kota fiksi--atau negara fiksi--sebetulnya menyenangkan karena percaya atau tidak, saya menganggap kota fiksi adalah salah satu bentuk dari low fantasy dan saya bisa menyebut A untuk Amanda ini sebagai buku fantasi, in a way. Selain itu, membuat kota fiksi sejujurnya membuat penulis jadi lebih fleksibel dalam mengeksplorasi latar tempatnya. A untuk Amanda tidak mengambil latar di negara Indonesia karena: 1) tahun ajaran baru dimulai bulan September dan 2) orang-orang pada sibuk usrek. Tapi juga tidak mengambil latar di negara Amerika karena: 1) beberapa nama karakternya lokal dan 2) letaknya di daerah tropis. Lihat di mana masalahnya? Kota tempat tinggal A untuk Amanda ini jadi enggakbelievable. "Yee, lo kali aja yang minim imajinasi! Ini, kan, fantasi," kata seorang pembaca yang nyinyir. Mungkin memang benar, tetapi saya lebih menikmati latar tempat yang walaupun fiksional, tetapi tetap dapat dipercaya, karena itu lebih gampang membuat saya terhubung sama ceritanya. Oleh karena itu, saya mau seenaknya dan memutuskan untuk menyebut kota (dan negara) latar tempat ini sebagai Hanttula, sebuah teritorial kepulauan Amerika Serikat yang letaknya tidak jauh dari Guam di Samudra Pasifik. Saya sebetulnya menduga kalau Hanttula ini seperti semacam kota utopis yang dipikirkan oleh Ihsani, tempat remaja-remaja cerdas dan remaja-remaja cool bisa berdampingan satu sama lain, tempat remaja-remaja bebas memilih kepercayaan yang dianutnya tanpa ada celaan dari orang tuanya, tempat remaja-remaja memiliki orang dewasa yang menyayangi mereka.
Dan itu juga yang membuat A untuk Amanda ini menjadi wahana roller coaster yang menyenangkan. Ihsani memutuskan untuk mengangkat topik feminisme--yang menurut saya harus lebih banyak diangkat dalam novel fiksi remaja, mengingat sasaran novel fiksi remaja memang gadis-gadis remaja. Saya termasuk orang yang percaya kalau feminisme bukan berarti hanya wanita berhak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama dengan lelaki, tetapi juga berarti bahwa lelaki berhak lepas dari sterotipe kalau lelaki harus kuat, lelaki harus berpikir, lelaki tidak boleh menangis. Memangnya kami robot tak berperasaan? Dan A untuk Amanda ini menyerempet sekali dengan nilai-nilai yang saya anut, meski hanya sedikit. But, I guess it's a good start, huh?
Topik mengenai depresi yang menjadi inti utama dari masalah ini pulalah yang membuat saya merasa kalau buku A untuk Amanda ini menjadi salah satu bacaan wajib buat remaja SMA di Indonesia di semesta lain yang utopis, karena saya percaya remaja tak berani mengakui kalau mereka menderita depresi, dan orang tua juga kadang tidak terlalu memedulikan masalah mental. Tapi ini masalah yang nyata, dan saya percaya di luar sana banyak sekali Amanda-Amanda di luar sana yang menderita dan berteriak dalam hati, sementara orang tua mereka hanya melengos dan bilang kalau mereka baik-baik saja dan berhenti mengarang-ngarang penyakit. Membaca A untuk Amanda mungkin bisa membantu mereka untuk mengakui bahwa mereka menderita penyakit dan untuk memberikan mereka keberanian untuk mengatakan kalau mereka sakit pada orang tua mereka. Percaya atau tidak, saya cukup merasakan apa yang Amanda rasakan karena, percaya atau tidak, saya dulu seperti Amanda sewaktu SMA. You know, effortlessly dan ongkang-ongkang di kelas, tetapi dapat nilai yang bagus, tetapi merasa kalau saya beruntung dan guru memberi saya nilai yang bagus karena memang reputasi saya, langsung luar biasa insecure kalau nilai saya turun. Saya ingat pernah nangis waktu dapat nilai 75 di Fisika. Saya selalu berkeringat dingin setiap kali ujian dan mau muntah, meskipun pada akhirnya yang saya dapatkan tidak seburuk yang saya bayangkan. Saya mengakui saya memang memiliki masalah mental--mungkin anxiety disorder?--tetapi saya tidak seberani Amanda untuk mengakuinya ke muka dunia. Jadi, sekarang kenapa A untuk Amanda jadi sangat penting untuk remaja di sana. Saya pikir memang remaja SMA zaman sekarang harus dituntut untuk lebih banyak membaca di bahasa Indonesia. Saya terkadang sedih kalau membaca tajuk mengenai minat baca Indonesia yang rendah. Don't they know what they're missing in this short life if they're not reading? Oh, dan remaja perlu menonton lebih banyak film--bukan hanya film blockbuster yang tayang di bioskop, tetapi juga film-film sederhana yang bisa membuat mereka berpikir dan menangis dan tertawa.
Oke, sebelum saya mengoceh lebih banyak mengenai bagaimana kurikulum bahasa Indonesia seharusnya, saya harus bilang kalau A untuk Amanda ini mungkin salah satuyoung adult lokal terbaik yang pernah saya baca. Keluhan saya terakhir mungkin banyaknya referensi fisika yang lumayan banyak dipakai, yang terkadang dipakai secara tidak wajar, tetapi saya tahu bagaimana susahnya menyelipkan referensi-referensi tanpa terdengar pretentiousdan Ihsani sudah melakukannya dengan sangat baik. Gaya terjemahannya, meskipun kesukaaan saya, terasa kaku karena dialognya jadi terasa kaku juga, dan saya bisa membayangkan kalau sang penulis ter-influence dari dialog-dialog remaja berbahasa Inggris.
Tapi, kan, saya sudah bilang kalau latarnya di kota fiksi bernama
EmoticonEmoticon