Indah Hanaco
The Vanilla Heart
Bentang Pustaka
258 halaman
3.6
Blurb
Komposisi: Cinta, Kejujuran, Ketulusan, dan Kesabaran
Cara Penyajian: Tuangkan kejujuran, ketulusan, dan kesabaran ke dalam cangkir. Tambahkan 180cc air cinta, aduk dan sajikan.
Aroma lembut vanila itu sangat kuat menguar,
merasuk dan mempengaruhi cita rasa hidup manusia.
Karena kejujuran rasa vanila mengajarkan kita,
bahwa ketulusan dan kesabaran memampukan kita meraih cinta.
Kau membuatku sadar bahwa cinta itu perjuangan.
Berjuang mendapatkan, meluluhkan, dan mempertahankan.
Hingga aku menyadari, bahwa hadirmu bagai vanila,
mampu mendatangkan kesederhanaan cinta yang tidak biasa.
Tapi tahukah kau, dirimu terkadang menyebalkan.
Terlalu cepat berlari, hingga membuatku takut dan ragu.
Cara Penyajian: Tuangkan kejujuran, ketulusan, dan kesabaran ke dalam cangkir. Tambahkan 180cc air cinta, aduk dan sajikan.
Aroma lembut vanila itu sangat kuat menguar,
merasuk dan mempengaruhi cita rasa hidup manusia.
Karena kejujuran rasa vanila mengajarkan kita,
bahwa ketulusan dan kesabaran memampukan kita meraih cinta.
Kau membuatku sadar bahwa cinta itu perjuangan.
Berjuang mendapatkan, meluluhkan, dan mempertahankan.
Hingga aku menyadari, bahwa hadirmu bagai vanila,
mampu mendatangkan kesederhanaan cinta yang tidak biasa.
Tapi tahukah kau, dirimu terkadang menyebalkan.
Terlalu cepat berlari, hingga membuatku takut dan ragu.
Review
Once you've lost trust, you'd better leave it altogether, begitu komentar teman saya, Skylar Alvins, di bawah review ini, yang mengungkapkan alasannya berhenti membaca romance. Saya jadi mikir (sekalian saya balas komennya di sini, ya, Ki, wkwkwk), apakah romance itu genre yang konstan dan begitu-begitu aja. Meet cute, terus deketan, terus ada konflik, terus jadian lagi. Tapi saya mikir walaupun stagnan, romance sebenernya selalu memberikan rasa-rasa tertentu--dan ini enggak peduli gender apa yang orang punya. Setiap orang butuh suntikan romance dalam hidupnya. Itu juga mungkin sebabnya kenapa saya belum give up dengan romance. Beberapa cerita romance yang menurut saya oke, tentu saja Me Before You atau The Rosie Project--kalau mau yang sedikit lebih macho. Atau Marginalia dari lokal yang cuman bisa saya ingat--maaf. Tapi di situlah kefleksibelan romance yang bisa melebur dengan genre-genre lain dengan mudah.
Sejujurnya, rasanya enggak adil kalau saya memberi rating The Vanilla Heart sekecil ini kalau benchmark-nya adalah buku-buku yang saya sebutin di atas. Lagi pula, beberapa bagian The Vanilla Heart lumayan "bisa dibaca". Tapi, tentu saja karakter-karakter Hanaco masih sesempurna karakter-karakter yang dibuatnya. It doesn't matter, though, dengan karakter-karakter yang sempurna semacam itu--mengingat kayaknya memang pangsa pasar Indonesia memang kebanyakan mendambakan mimpi bertemu cowok superganteng, kaya, pintar, tajir, jago main basket, dan ketua OSIS, dan itu bukan hal yang enggak realistis--cari di kampus saya dulu, it's easy to pick that one. Ini bisa dimengerti.
Selain karakter, saya juga sejujurnya ngerasa kalau plot The Vanilla Heart ini juga terasa "dangkal", tapi memang itu masalah dari mainstream romance, yang memang fokus utamanya adalah keasmaraan (((keasmaraan))). Still, it's just me being unfair, membandingkan buku-buku yang saya sebutin di atas yang punya plot yang lumayan rumit. The Vanilla Heart basically hanya terasa seperti cerpen yang diulur-ulur.
Masalah terakhir sebenarnya gaya bahasa Hanaco yang terasa janggal, dengan dialog yang anehnya terasa kaku. Saya tahu mungkin memang agar bukunya terasa formal dan "terjemahan", tetapi kalau saya amati dari tiga bukunya yang pernah saya baca, dialog karakternya aneh banget--percakapan tiga cowok bersaudara yang kayak percakapan cewek-cewek bersaudara yang lagi rumpi. There's something off, tapi saya juga enggak tahu itu mungkin masalah selera saya aja yang menghendaki sesuai yang terasa lebih ringan dan mengalir.
Sekali lagi, saya memang unfair. Hal-hal yang enggak saya sukai sebetulnya hal-hal sepele yang enggak penting. Mungkin harusnya saya kasih bintang dua, tapi entah kenapa saya enggan.
Sejujurnya, rasanya enggak adil kalau saya memberi rating The Vanilla Heart sekecil ini kalau benchmark-nya adalah buku-buku yang saya sebutin di atas. Lagi pula, beberapa bagian The Vanilla Heart lumayan "bisa dibaca". Tapi, tentu saja karakter-karakter Hanaco masih sesempurna karakter-karakter yang dibuatnya. It doesn't matter, though, dengan karakter-karakter yang sempurna semacam itu--mengingat kayaknya memang pangsa pasar Indonesia memang kebanyakan mendambakan mimpi bertemu cowok superganteng, kaya, pintar, tajir, jago main basket, dan ketua OSIS, dan itu bukan hal yang enggak realistis--cari di kampus saya dulu, it's easy to pick that one. Ini bisa dimengerti.
Selain karakter, saya juga sejujurnya ngerasa kalau plot The Vanilla Heart ini juga terasa "dangkal", tapi memang itu masalah dari mainstream romance, yang memang fokus utamanya adalah keasmaraan (((keasmaraan))). Still, it's just me being unfair, membandingkan buku-buku yang saya sebutin di atas yang punya plot yang lumayan rumit. The Vanilla Heart basically hanya terasa seperti cerpen yang diulur-ulur.
Masalah terakhir sebenarnya gaya bahasa Hanaco yang terasa janggal, dengan dialog yang anehnya terasa kaku. Saya tahu mungkin memang agar bukunya terasa formal dan "terjemahan", tetapi kalau saya amati dari tiga bukunya yang pernah saya baca, dialog karakternya aneh banget--percakapan tiga cowok bersaudara yang kayak percakapan cewek-cewek bersaudara yang lagi rumpi. There's something off, tapi saya juga enggak tahu itu mungkin masalah selera saya aja yang menghendaki sesuai yang terasa lebih ringan dan mengalir.
Sekali lagi, saya memang unfair. Hal-hal yang enggak saya sukai sebetulnya hal-hal sepele yang enggak penting. Mungkin harusnya saya kasih bintang dua, tapi entah kenapa saya enggan.
EmoticonEmoticon