Teka-Teki Terakhir oleh Annisa Ihsani

Annisa Ihsani
Teka-Teki Terakhir
Gramedia Pustaka Utama
256 halaman
7.9

Blurb
Gosipnya, suami-istri Maxwell penyihir. Ada juga yang bilang pasangan itu ilmuwan gila. Tidak sedikit yang mengatakan mereka keluarga ningrat yang melarikan diri ke Littlewood. Hanya itu yang Laura tahu tentang tetangganya tersebut.

Dia tidak pernah menyangka kenyataan tentang mereka lebih misterius daripada yang digosipkan. Di balik pintu rumah putih di Jalan Eddington, ada sekumpulan teka-teki logika, paradoks membingungkan tentang tukang cukur, dan obsesi terhadap pernyataan matematika yang belum terpecahkan selama lebih dari tiga abad. Terlebih lagi, Laura tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari semua itu.

Tahun 1992, Laura berusia dua belas tahun, dan teka-teki terakhir mengubah hidupnya selamanya...

Review
Jika ada satu hal yang bisa saya banggakan dari kehidupan 22 tahun saya yang menyedihkan ini, itu adalah saya tidak bego matematika. Jika Ihsani mengatakan bahwa orang-orang dewasa biasanya akan berbasa-basi dengan mengatakan kalau mereka payah dalam matematika, saya dengan pongahnya akan mengatakan hal yang sebaliknya. Matematika adalah hal yang seru, menantang, dan cantik. Tapi, jujur saja, saya suka sekali dengan matematika dan di saat nilai mata kuliah saya yang lain awur-awuran, mata kuliah matematika sayalah yang menyelamatkan IP saya dari keterpurukan. Ketertarikan saya dari matematika mungkin dimulai dari SD ketika saya menyadari keajaiban dan keteraturan dari angka-angka tersebut. Siapa yang menyangka kita bisa menentukan apakah satu bilangan bisa dibagi tiga hanya dengan menjumlahkan digit-digit penyusunnya?

Ketertarikan saya akan matematika terus ada sampai kuliah--dan sampai sekarang tentu saja. Saat ada waktu luang, saya suka iseng-iseng mengerjakan brain teaser di brilliant.org yang adiktif--yang kemudian hanya mendapat cibiran dari masyarakat sekitar tentang bagaimana saya menghabiskan waktu luang. Tentu saja saya tidak bisa mengerjakan soal level 4-5 karena keterbatasan otak saya, tetapi ketika berhasil menyelesaikan satu problem, rasanya seperti habis terapi dan memuaskan. Saat kuliah pulalah saya mulai 'ngeh' dengan adanya beberapa problematika kehidupan yang belum terpecahkan di dalam matematika. Yang paling terkenal (dan susah karena bahkan saya sendiri juga enggak mengerti sebenarnya apa yang jadi masalah) adalah Millennium Prize Problems yang memuat tujuh problematika matematika di milenium ini yang belum terpecahkan. Sejauh ini hanya ada satu yang sudah dipecahkan. Saat itu pulalah saya juga membaca soal Teorema Terakhir Fermat. 

Kalau ada orang randomly datang ke saya dan menyuruh saya membuat cerita dengan ide pokok Teorema Terakhir Fermat, saya akan langsung membuat cerita sains fiksi yang canggih yang mbulet seperti dinasti kepemimpinan Kabupaten Klaten atau seperti cerpen soal domestic dramayang dibumbui dengan kehidupan matematikawati yang stres karena ia berhasil membuktikan kalau 1=2 macam Division by Zero karya Ted Chiang (yang, omong-omong harus kalian baca). Tidak pernah terbayangkan kalau Teorema Terakhir Fermat bisa diangkat menjadi cerita young adult yang menarik dan menggugah, tetapi masih bisa dicerna untuk anak-anakmiddle grade. Untuk itu, saya angkat topi untuk Ihsani. 

Teka-Teki Terakhir, karya debut Ihsani sangat berbeda dengan karyanya yang pertama kali saya baca A Untuk Amanda--yang juga masuk ke dalam salah satu buku favorit saya tahun lalu karena sasaran usia pembacanya meski keduanya sama-sama cerdas dan bergizi. A Untuk Amanda juga cenderung gelap, sementara Teka-Teki Terakhir lebih ringan dan cerah, seperti cahaya crepuscular yang menelusup dari awan di langit. 

Bercerita soal Laura Welman, seorang gadis kecil berusia 12 tahun, yang membuang kertas ulangan matematikanya yang bernilai nol di depan rumah besar milik pasangan misterius Maxwell. Sejak saat itulah, ia mulai berkenalan dengan pasangan suami istri Maxwell yang ternyata seorang ahli matematika dan di sana ia menemukan serunya matematika dan rahasia suami istri Maxwell yang perlahan terkuak, termasuk pergumulan James Maxwell dengan Teorema Terakhir Fermat selama empat puluh tahun.

Mengambil latar tahun 1992, beberapa tahun sebelum Teorema Terakhir Fermat dibuktikan, Teka-Teki Terakhir terasa seperti cerita yang autentik, membuktikan bahwa ada sisi lain dari peristiwa sejarah dan ini hal yang baru dalam dunia young adult dalam negeri ini. Bahwa di balik kesuksesan orang lain, ada kegagalan orang lain pula. Tapi, Teka-Teki Terakhirmengajarkan bahwa kegagalan juga merupakan bagian hidup yang harus diterima dan setelah kita belajar menerima kegagalan, dan berusaha untuk mengatasinya, itulah hal yang paling penting. Bagaimana sebuah buku yang ditujukan untuk bocah-bocah SMP masih relevan dengan kehidupan orang dewasa benar-benar di luar nalar saya.

Dan bukan itu saja yang mengejutkan dari Teka-Teki Terakhir karena sekali lagi Ihsani menyelipkan isu-isu dan pemikiran sensitif, seperti agnotisme di A Untuk Amanda. Kali ini ia menyinggung how to handle death dan kehidupan setelah kematian itu sendiri. Perkara apakah kehidupan setelah kematian itu ada atau tidak tidaklah penting, karena yang paling penting bagaimana kita meninggalkan legacy di dunia ini. Menarik sekali memahami pikiran anak dua belas tahun lebih dewasa daripada kita-kita ini. Selain dua isu itu, buku ini juga mengajarkan arti persahabatan, persaudaraan, dan hal-hal penting lainnya yang diperlukan para remaja muda. 

Meski demikian, meski Teka Teki Terakhir tetap mengagumkan, saya merasa jalinan plotnya kurang terikat dengan baik, seperti jilidan buku dengan beberapa halaman yang lepas. Saya tidak bisa menunjukkan bagian yang mana, tetapi saya menduga ini salah satu sebabnya kenapa saya tidak menikmati Teka-Teki Terakhir sama seperti saya menikmati A Untuk Amanda

Tapi, tetap saja Teka-Teki Terakhir adalah sebuah karya yang impresif, dan mengingat jarangnya buku remaja yang mengangkat tema-tema penting dan unik di negeri ini, karya-karya Ihsani rasanya selalu wajib untuk dinanti.

Previous
Next Post »