Above The Stars (Young Adult Realistic Novel) oleh D. Wijaya

Judul: Above The Stars 
Penulis: D. Wijaya
Penerbit: Ice Cube Publishing
Tebal: 248 halaman
Rating««««

Saya ingat masa-masa di pertengahan tahun 2000-an ketika teenlit GPU berkuasa dan menerbitkan sejumlah buku-buku teenlit dengan tema "berani", seperti Luna yang mengangkat tema transgender. Setelah itu, kayaknya saya yang terlalu kuper atau apa, saya belum melihat ada buku young adult bertema LGBT(Q) yang diterbitkan oleh penerbit mayor

Yah, saya ngerti, sih, kalau topik LGBTQ ini masih topik yang kontroversial di negeri ini, tapi karena saya anaknya lumayan liberal dan saya selalu belajar buat mengasihi orang lain despite everything, makanya saya enggak begitu masalah sama topik yang berkaitan dengan LGBTQ. Tapi, yah, harusnya bukan berarti kalau karena topik yang kontroversial semacam ini, jarang sekali ada buku young adult lokal yang mengangkat tema kayak gini. Fenomena ini, suka tidak suka, emang beneran ada dan rasanya kayak salah kalau kita menutup mata akan hal-hal semacam ini. 

Loh, kok saya malah ceramah. 

Jadi, yeah, guys spoiler alert buku ini mengangkat tema LGBTQ, sudah seperti yang saya duga. Tapi dari blurb emang harusnya ketebak. Tapi, tenang aja, fokusnya bukan di situ kok, lebih banyak ke... well persahabatan meskipun adegan romantisnya cukup bikin orang yang heteroseksual nyengir miris karena iri.

Rating sebenarnya 3,5 bintang, tapi karena keberanian D. Wijaya dan karakter Will yang sangat menyenangkan, saya bulatkan ke atas. 

Danny Jameson buta sejak lahir dan ia selalu berpikir bahwa ia tak akan pernah bisa melihat, bahwa orang tuanya akan selalu protektif, bahwa John dan kroninya akan selalu mengganggu Danny, bahwa Mia Berry akan menjadi satu-satunya teman yang ia miliki. Namun, ketika Will--si biang masalah--pindah ke sekolah Danny, ia menemukan teman baru. Will mengerti Danny, mengabulkan permintaan Danny, begitu baik padanya. Awalnya semuanya baik-baik saja. Namun, saat perasaan Danny pada Will berkembang menjadi sesuatu yang lain, Will tiba-tiba saja menghilang. 

Yah, gini-gini, nih, standar yang saya pakai buat menilai young adult bule dan Above The Stars sudah sangat memenuhinya. Narasinya lancar dan saya suka dengan narasi yang dipakai. Beberapa kalimat terasa indah, dan indahnya begitu effortless. Maksudnya, hanya dengan kata-kata lugas, perasaan dan maksud yang hendak disampaikan dapat disampaikan dengan baik. BUkan dengan bahasa berbunga-bunga, kayak Suaranya sungguh indah bak lembayung senja yang menggetarkan sukma. Yha, sesuatu kayak gitulah. 

Saya cuma suka karakter Will, sebenarnya, dengan dialog-dialog yang sarkastis yang ia lontarkan. Meskipun cukup klise--karena saya sudah cukup banyak baca tipe karakter macam Will--saya masih suka dengan sejumlah dialog yang ia keluarkan. Beberapa lumayan bikin benak saya berpikir. Meski demikian, karakter-karakter yang lain juga cukup menyenangkan. Saya lumayan suka dengan Mia Berry, tipe-tipe cewek tsundere yang akan sangat menarik kalau saya bisa kenalan lebih lanjut. 

Plotnya juara, dengan beberapa petunjuk yang samar untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di akhir cerita. Kejutan yang diselipkan membuat saya sedikit terperanjat karena saya enggak nyangka kalau Will hilang karena hal tersebut, terlebih lagi karena sudah ada petunjuk.

Beberapa hal yang sedikit mengganggu saya:
  1. Entahlah kenapa panggilan Papa dan Mama ini terasa janggal. I know. Memang ada beberapa anak yang memanggil Papa dan Mama di Amerika Serikat sana, tapi mungkin bukan hal yang lazim. Tapi, ini bukan hal yang patut dipermasalahkan. 
  2. Masih soal panggilan, saya juga merasa sebutan Bu Guru untuk nyebut guru SD juga terasa sangat Indonesia sekali.
  3. Terus sejumlah kutipan konfesional (?) di sela-sela bab awal itu terasa sedikit aneh, terutama karena back story-nya lumayan enggak memengaruhi jalannya cerita.
  4. Saya berharap kalau buku ini ditulis dari multiple PoV 1 biar semakin mengiris-ngiris. 
  5. Spoiler ending: 
  6. Emang donor kornea dan menemukan kornea yang cocok sesusah dan semudah itu? Saya enggak tahu, sih, makanya saya bertanya-tanya kenapa Danny tidak segera mendapat donor yang pas, dan kenapa Will bisa dengan mudah mendonorkan korneanya. But still, that's a strong ending, though
Omong-omong nama Will Anderson ini mengingatkan saya akan nama vokalis salah satu band favorit saya, Parachute, salah satuband underrated yang pernah ada. Lirik-liriknya mantap dan romantis, dan musiknya lumayan. Terutama di album The Way It Was. 

(malah promosi Parachute wkwk)

Well akhir kata, well done buat D. Wijaya. Ceritanya bisa dibilang sukses mengaduk-aduk perasaan saya, dan saya tunggu karya-karya berikutnya. 
First