Persona oleh Fakhrisina Amalia

Fakhrisina Amalia
Persona
Gramedia Pustaka Utama
244 halaman
7.7

Blurb
Namanya Altair, seperti salah satu bintang terang di rasi Aquila yang membentuk segitiga musim panas. Azura mengenalnya di sekolah sebagai murid baru blasteran Jepang yang kesulitan menyebut huruf L pada namanya sendiri.

Azura merasa hidupnya yang berantakan perlahan membaik dengan kehadiran Altair. Keberadaan Altair lambat laun membuat perasaan Azura terhadap Kak Nara yang sudah lama dipendam pun luntur.

Namun, saat dia mulai jatuh cinta pada Altair, cowok itu justru menghilang tanpa kabar. Bukan hanya kehilangan Altair, Azura juga harus menghadapi kenyataan bahwa orangtuanya memiliki banyak rahasia, yang mulai terungkap satu demi satu. Dan pada saat itu, Kak Nara-lah tempat Azura berlindung.

Ketika Azura merasa kehidupannya mulai berjalan normal, Altair kembali lagi. Dan kali ini Azura dihadapkan pada kenyataan untuk memilih antara Altair atau Kak Nara.
 

Review
Mendengar kata "persona", hal pertama yang terlintas di kepala orang-orang--paling enggak buat orang yang suka main JRPG, seperti saya--adalah segerombolan bocah SMA di Jepang yang bisa mengeluarkan makhluk gaib berkekuatan super dari dalam dirinya yang selalu membawa evoker ke mana-mana atau menembus layar televisi ke dunia lain. Meski diambil dari bahasa Latin dan "persona" adalah kata yang baku, tentu saja saya enggak tahan untuk enggak bertanya apakah Amalia ter-influence dari franchise Persona. Ketika jawabannya enggak, saya agak ngedumel. Namun, setelah memahami hakikat dari arti kata "persona" sendiri dan membaca cerita ini, saya akhirnya paham kenapa cerita ini diberi judul demikian. 

Hal yang paling kuat dari buku ini adalah plot utamanya. Kehadiran Altair yang mewarnai hari-hari Azura, serta alasan kenapa ia menghilang sudah dengan bisa mudah ditebak ketika ia pertama kali muncul, karena Amalia yang berbaik hati menebarkan petunjuk-petunjuk. Sedikit mengingatkan saya akan Made You Up, Persona sebetulnya tidak menawarkan sesuatu yang baru. Namun, cara Amalia bercerita yang dipenuhi dengan luapan-luapan emosi Azura membuat Persona ini memiliki "perasaan", dan itu hal yang bagus, meskipun "perasaan" itu tidak sekuat di buku Amalia sebelumnya, Happiness, yang menurut saya masih menjadi karya terbaik Amalia. 

Persona bisa menjadi karya terbaik Amalia, tentu saja, karena cara bernarasi Amalia yang sudah lebih luwes, tetapi temanya yang terasa distant meskipun nyata. Itu sebabnya Persona jadi kurang begitu relatable dengan pembacanya, tetapi Persona menjadi buku yang penting karena mengangkat tema yang jarang diangkat oleh novel young adult. Sekali lagi, young adult bisa membuka mata remaja-remaja akan kondisi-kondisi yang mungkin jarang mereka jumpai, tetapi real, dan itu penting. Meski saya mengharapkan detail yang lebih digali lagi, karena ini topik yang cukup mengawang-awang, dan saya yakin banyak orang yang masih belum awareakan hal ini.

Di Persona juga, sekali lagi Amalia menaruh ending yang luar biasa berkesan, dan enggak bisa dimungkiri, ending Persona adalah hal terbaik dari buku ini, meski terkesan agak manga-ish, tetapi tetap berkesan. Dan itu yang berhasil membuat Persona salah satu novel dari lini Young Adult yang paling baik.

Previous
Next Post »