Brink of Senses oleh Mertha Sanjaya

Mertha Sanjaya
Brink of Senses
IceCube Publishing
254 halaman
5.0
Blurb

“Mengapa kau menari di sini?” tanya Kevin lantang. “Bukankah kau bisa menari di panggung dan dapat uang lebih banyak?”

“Aku tidak butuh uang. Aku hanya suka menari. Menari, menari, dan menunggu.”

Keputusan sang ayah untuk pindah ke New York membawa angin segar dalam kehidupan Kevin Huston. Di kota yang sibuk itu, dia bisa melupakan kenangan buruk akan ibunya dan bisa memulai hidup baru tanpa ada yang tahu riwayatnya sebagai mantan pasien di Pusat Rehabilitasi Mental Golden Sunshine (“Senyum, senyum, senyum karena kau ada di Golden Sunshine!”). Kevin berhasil menarik perhatian Carla Friday, gadis paling populer di sekolah dan dia bisa berteman dengan siapa pun yang dia mau. Siapa pun kecuali Scarlett Mendelsohn, gadis penari yang ia temui di Battery Park. Berulang kali Kevin mencoba mendekati Scarlett, tapi gadis itu tidak menggubrisnya, seolah pikirannya berada di tempat lain. Tapi Kevin tidak mau menyerah. Karena ada sesuatu dari gadis itu yang mengingatkannya pada kondisinya dahulu.


Review

Dari sekian banyaknya buku YARN yang sudah terbit, Brink of Senses ini barangkali yang paling membuat saya bertanya-tanya ini inti ceritanya apa hanya dari blurb. Biasanya, saya sudah bisa menerka-nerka kira-kira masalah utama di buku ini apa, dan, yah walaupun biasanya saya kadang meleset, paling tidak saya bisa mengira-ngira kira-kira buku tersebut membahas masalah apa. Itu sebabnya Brink of Senses unggul di departemen Hal-Hal yang Bikin Penasaran buat saya. Coba kasih tahu bagian mana yang tidak menarik? Seorang cowok remaja yang sudah merasakan pusat rehabilitasi mental? Cewek yang menari-nari di Battery Park? Pindah ke New York? Itu hal-hal yang menarik sekali buat saya. 

Itu sebabnya kenapa saya memutuskan buat beli Brink of Senses dulu daripada Happiness sewaktu ada promo lewat CIMB clicks. Tapi, saya baru sempat baca sekarang karena kebetulan saya harus buru-buru ke Bandung sementara bukunya saya kirim ke Solo. 

Setelah saya baca-baca, saya merasa Brink of Senses ini superfisial. Hanya menyentuh bagian permukaannya saja. Tidak hanya karakter-karakternya yang terasa aneh, dialognya, latar New York yang digunakan, penyakit kejiwaan yang diderita, menurut saya masih kurang mendalam dan masih sangat bisa digali lebih dalam lagi. 

Kita bertemu dengan Kevin Huston, yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi mental, yang pindah ke New York dari Wales untuk memulai hidup baru. Untuk seorang yang baru saja keluar dari sebuah pusat rehabilitasi mental, saya merasa Kevin kurang kompleks. Karakternya cenderung polos dan lugu, meskipun beberapa kali kita sempat diajak mengintip isi pikiran Kevin. Mungkin ini karena pemilihan sudut pandang orang ketiga yang digunakan, membuat penulis sulit untuk mengeksplorasi isi kepala Kevin. Ketika saya membaca The Silver Linings Playbook (yang belum selesai dibaca juga wkwk), Quick menulis dari sudut pandang orang pertama dari Pat Solitano, Jr. membuat pembaca bisa meraba-raba bahwa memang Pat baru keluar dari pusat rehabilitasi mental, tapi karakter Pat tak hanya itu saja. Pat merasa bahwa dirinya baik-baik saja, dan itu biasanya memang salah satu gejala penyakit mental. Saya berharap Kevin juga sedikit kompleks karakter. Sama seperti karakter Scarlett Mandelsohn juga sebetulnya, tapi sebetulnya karakter Scarlett ini sudah "aneh" in a good way, jadi saya tidak akan mempermasalahkannya. 

Dialognya terasa kurang "Amerika" buat saya. Mungkin karena saya sering membaca novel YA Amerika dan bisa menebak kira-kira bagaimana kalau ini diterjemahkan. Saya merasa dialog di Brink of Senses kehilangan jiwanya dan kurang hidup. Ada sesuatu yang kurang menurut saya. Latar New York-nya juga menurut saya kurang gereget. Beberapa tempat yang digunakan, seperti Battery Park, Patung Liberty, terasa seperti deskripsi TripAdvisor, kurang menyentuh elemen-elemen trivial yang bisa ditemukan di tempat tersebut. Mungkin bisa diperbaiki dengan menyelipkan deskripsi suasana atau menambah sesuatu yang membuat latarnya terasa hidup. Selain itu, saya sebetulnya berharap ada bagian-bagian New York yang kurang banyak tereksplorasi oleh banyak media. Lagi pula, kesenangan untuk menulis cerita berlatar di luar negeri adalah eksplorasi latar. Menurut saya, Brink of Senses kurang memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik. 

Rust in Pieces juga membahas soal masalah kejiwaan, dan saya merasa riset mengenai kleptomania dilakukan dan ditulis dengan baik, sementara saya merasa masalah di Brink of Senses ini kurang mendalam. Saya sebetulnya berharap mendapat banyak informasi mengenai penyakit yang diderita oleh kedua tokohnya, dan bagaimana cara menghadapinya, seperti itu. Ketika Scarlett akhirnya menerima kebenaran karena perkataan Kevin, saya agak merasa penyelesaian ini sedikit deus ex machina. Maksud saya, kenapa hanya Kevin yang bisa membuat Scarlett menerima kebenaran, kenapa hanya Kevin yang bisa menemukan Scarlett. Selain itu, saya merasa Brink of Senses sedikit melebihkan masalah bullying di sana. Bullying itu memang nyata, clique-clique sosial memang beneran ada. Lagi pula, remaja mana, sih, yang enggak ngegeng. Masalah saya adalah self-awareness mereka bahwa mereka itu populer. Sama seperti label hipster label populer itu disematkan orang lain, dan saya enggak bisa enggak senyum waktu Dean dan Carla dengan bangganya menyatakan bahwa mereka anak populer waktu mem-bullyorang lain. Ini sedikit mengingatkan saya dengan bos-bos game RPG yang masih sempat-sempat ngomong-ngomong cantik dulu sebelum battle.

Brink of Senses punya begitu banyak potensial menurut saya. Karakter yang "aneh" (in a good way), latar yang sangat explorable, konflik utama yang lain daripada yang lain. Sayang sekali kalau potensial itu kurang dibangun dengan baik, tapi saya yakin penulis bisa memperbaikinya di buku berikutnya (denger-denger naskah berikutnya udah kelar, ya? #taubanget).
Previous
Next Post »