Top 10 Books I Read in 2015


Saya mengalami sedikit peningkatan jumlah buku yang dibaca pada tahun 2015 ini daripada tahun lalu. Sepanjang tahun ini, saya berhasil membaca 74 buku, lebih banyak 24 buku daripada tahun 2014. Dan karena saya pikir saya tidak akan bisa menyelesaikan buku apa pun hingga tahun ini berakhir, sepertinya sudah waktunya saya udah membuat kaleidoskop buku yang saya baca tahun ini, sama seperti yang saya lakukan untuk lagu terbaik tahun ini di blog saya yang satunya.

Awal tahun 2015 saya lebih banyak menghabiskan buku-buku keluaran tahun 2014 yang dapat penghargaan Goodreads Choice Awards. Sebagian besar young adult, tetapi ada juga sains fiksi dan fantasi. Baru pertengahan tahun, saya lebih banyak berkutat di fantasi dan sains fiksi meski tak jarang juga membaca beberapa young adult

Buku terberat yang saya baca sepanjang tahun ini adalah Brave New World oleh Aldous Huxley karena topiknya yang sangat disturbing dan gaya berbahasa yang lumayan berat. Meski demikian, saya juga menghabiskan beberapa buku ringan yang juga menyenangkan. Will Grayson, Will Grayson yang kocak dan seru. Dan tentu masih ada banyak buku lainnya. 

So, waktunya untuk merekap buku-buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun ini.

10. "Happiness" - Fakhrisina Amalia

Happiness barangkali naskah young adult yang paling relatable buat sebagian besar remaja, terutama bagi kalangan mahasiswa baru. Salah jurusan, antara passion, desakan orang tua, atau kehidupan masa depan memang sering membuat anak-anak kelas 12 SMA pusing. Itu juga yang dirasakan Ceria di buku ini. That's why Ceria karakter yang benar-benar nyambung buat saya. Dengan segala kegundahan dan kekhawatirannya, Ceria, menurut saya, seorang karakter yang benar-benar nyata dan real. 

Happiness is indeed far more superior than Amalia's previous work that I've readAll You Need is Love. Happiness menampilkan masalah remaja yang lebih nyata dan berkaitan secara langsung dengan dunia remaja saat ini. Amalia dengan sukses menangkap keragu-raguan, kecemasan, dan ketakutan remaja akan masa depan, sekaligus perjuangan seorang remaja untuk terus membuat bangga kedua orang tuanya, menjadikan Happiness sebuah buku young adult dengan plot seperti roller-coasteryang meliuk-liuk. Saya merasa senang sekali membaca dan mengikuti cerita Ceria ini--karena surprisingly Ceria ini mirip sekali dengan apa yang saya alami dulu (dan mungkin sampai sekarang). Dan saya yakin, masih banyak Ceria lain di luar sana yang merasa demikian. Damn, even Ceria's competitive spirit is eerily similar with mine. Tanya teman-teman saya, dan mereka akan mengamini betapa kompetitifnya saya ini. 



9. "Sword of Summer" - Rick Riordan

Rick Riordan tahu benar cara untuk membuat saya girang setengah mati. Membuat cerita dari mitologi Nordik? Centang. Karakter yang sarkas dan humoris? Centang. Menyelipkan referensi dari album 1989? Centang centang centang. Riordan barangkali menggunakan formula basi untuk buku terbarunya kali ini, tetapi ia selalu dengan sukses membuat buku-buku yang ia tulis terasa segar dan baru. Karakter utamanya, Magnus Chase, sama seperti salinan Percy Jackson di segi kebegoan, selera humor, dan kecerobohannya, tapi itu yang membuat saya lumayan nyambung dengan Magnus Chase. Karakter lainnya juga luar biasa kocak? Siapa yang menyangka kalau sebilah pedang akan menjadi karakter paling lucu di buku ini? Saya akan lumayan bias dalam me-review buku-buku Rick Riordan karena saya akan lebih banyak menghabiskan waktu buat ketawa daripada menganalisis buku Riordan, jadi tak heran kalau Sword of Summer ini ada di buku terbaik yang saya baca tahun ini. 


8. "All The Bright Places" - Jennifer Niven

Dalam buku debut yang menyedihkan dan indah ini, Niven bercerita mengenai kehilangan, rasa bersalah, rasa sakit, dan cinta. All The Bright Place memperkenalkan dua orang remaja yang masing-masing harus merasakan beban yang melebihi yang sanggup mereka pikul. Violet harus menanggung rasa bersalah yang hebat karena ia merasa ialah yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang menewaskan kakaknya. Sementara Finch, yang selalu tertarik dengan bunuh diri, terpaksa masalah keluarga yang menimpanya sambil menghadapi penyakit yang ia derita. Ketika Finch menyelamatkan Violet yang hendak bunuh diri di menara sekolah, mereka tak akan pernah menyangka itu adalah bahwa mereka berdua ternyata saling membutuhkan satu sama lain. Namun, Finch menghilang begitu saja. 

Ditulis dengan sangat cantik, All The Bright Places merupakan young adult yang cukup gelap--meskipun sampul depannya sangat ceria. Niven menceritakan beratnya menjadi seorang remaja dengan sangat baik meskipun pace cerita awal cukup lambat. Namun, Violet dan Finch memiliki chemistry yang sangat bagus, membuat keduanya menjadi karakter yang hidup dan serasi, membuat mustahil untuk tidak menangis di akhir cerita. You have been warned

7. "We All Looked Up" - Tommy Wallach


Eskatalogi--tak peduli betapa seram dan menakutkannya topik ini--merupakan topik yang sebisa mungkin saya hindari, tetapi pada akhirnya saya tidak bisa menyangkal saya tidak menyukainya. Bagaimanapun juga, pada akhirnya dunia akan berakhir. Saat Wallach menggabungkan dua hal favorit saya: young adult dan eskatalogi menjadi satu buku, saya tidak bisa tidak bergairah. We All Looked Up ini menjadi percampuran dua subgenre buku yang saya sukai, dan hasilnya tidak mengecewakan. Saat sebuah asteroid hendak menabrak Bumi dan para ilmuwan memperkirakan akhir dunia, rencana Peter, Eliza, Andy, dan Anita setelah lulus SMA menjadi hancur berantakan. Namun, mungkin ada sisi terang dari bencana ini. Mungkin permasalahan mereka bisa berakhir. Kehampaan Peter, ketidakpastian masa depan Andy, masalah keluarga Eliza, dan juga rasa takut Anita. Ketika mereka berempat saling bertemu, mereka mulai belajar mengenai arti kehidupan dan kematian yang sebenarnya. 

Saat masyarakat dibanjiri dengan cerita post apocalypse yang suram dan gelap, We All Looked Up sendiri menceritakan masa pre apocalypse sesaat sebelum kiamat terjadi. Hasilnya, sesungguhnya tak jauh berbeda. Tatanan kemasyarakatan yang mulai berantakan serta egoisme manusia juga bisa saja terjadi. Namun, meski demikian, adanya harapan akan hari esok seperti menjadi rem untuk tidak melakukan sesuatu hal yang di luar batas. Itu pula yang dirasakan oleh para karakter di buku ini yang menghadapi sesuatu yang tidak ingin mereka hadapi. Mereka masih begitu muda. Mereka masih ingin menjelajah dunia. Mereka tak ingin dunia berakhir. Wallach membuat karakter yang begitu manusiawi dan remaja, membuat pengalaman membaca We All Looked Up terasa sangat menyenangkan. Open ending yang dibuat seakan menjadi harapan akan apa yang terjadi dengan para karakter ini nantinya.


6. "The Rosie Project" - Graeme Simsion

The Rosie Project sedikit banyak mengingatkan saya akan The Silver Linings Playbook. Karakter utama pria yang bermasalah secara sosial, karakter utama cewek yang over-the-top (dan sama-sama diperankan oleh Jennifer Lawrence). Tetapi meski saya belum selesai membaca Silver Linings Playbook, The Rosie Project terkesan lebih cerdas danawkward in a good way.

Tapi itu yang membuat saya suka sekali buku ini, karena surprisingly saya lumayan nyambung dengan karakter Don Tillman di sini meskipun saya tidak seekstrem dengan dia. Saya socially awkward, dan jalan-jalan berdua saja dengan orang lain sejujurnya membuat saya ketakutan setengah mati. Saya mungkin enggak nunjukin di luar, but trust me, you can never imagine how I am dreading inside. Kecanggungan dan ke-awkward-an Tillman, ke-obsesif-kompulsif-annya, serta tingkah laku Don Tillman yang luar biasa nyeleneh itu yang membuatnya menjadi karakter yang mengesankan dansweet in a nerdy way



5. "Elantris" - Brandon Sanderson

Sanderson terkenal membuat world building yang kompleks dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang mendetail dan nyata. Elantris ini salah satunya. Karakternya yang kompleks, sistem magic-nya yang unik, dan konflik yang keren membuat Elantris menjadi salah satu buku terbaik yang saya baca.


4. "My Heart and Other Black Holes" - Jasmine Warga

Ini young adult terbaik sepanjang tahun ini. My Heart and Other Black Holes menambah daftar panjang dari suicide literature yang diterbitkan tahun ini, tetapi buku ini yang terbaik. Tulisan Warga yang sederhana dan langsung pada intinya tidak membuat buku ini kekurangan kalimat yang indah. Karakter yang lucu dan menggemaskan serta interaksi mereka berdua juga nilai plus buku ini. Masalah karakter yang begitu nyata, menyakitkan, dan menyedihkan membuat My Heart and Other Black Holes terasa begitu manusiawi. w


3. "Steelheart" - Brandon Sanderson

Brandon Sanderson tidak pernah mengecewakan. Tentu saja Steelheart juga tidak mengecewakan. Seakan-akan sudah menjadi trademark Sanderson untuk membuat sebuah cerita fantasi dengan selipan misteri, Sanderson sekali lagi berhasil membuat masterpiece berjudul Steelheart. Saat Calamity muncul sepuluh tahun yang lalu, tiba-tiba saja orang-orang memiliki kemampuan super. Mereka disebut Epics. Namun, tidak seperti yang orang-orang sangka, para Epics ternyata pembawa kehancuran, menghancurkan dunia dengan kemampuan yang mereka miliki dan merusak segala tatanan yang ada. Ayah David dibunuh oleh seorang Epic bernama Steelheart. David menuntut pembalasan. David bertekad untuk bergabung ke Reckoners, satu-satunya kelompok pemberontak yang mampu melawan para Epics. Namun, membunuh Epics bukan perkara mudah. Mereka hanya memiliki satu kelemahan.  

Sepertinya Sanderson menyadari bahwa ada masa ketika orang-orang pasti mendambakan kekuatan super. Namun, ia memberi twist pada hal tersebut, menciptakan karakter Epics yang menyeramkan dan mematikan. Namun, Epics sebenarnya tidak sesederhana itu. Ada penyebab mengapa hanya orang tertentu yang mendapat kekuatan. Ada alasan mengapa kelemahan masing-masing Epic begitu random. Itu yang membuat buku-buku Sanderson menjadi begitu kaya dan berlapis-lapis.


2. "Golden Son" - Pierce Brown

Pierce Brown boleh jadi salah satu penulis pria terganteng tahun ini, tetapi Golden Son jauh dari kata ganteng. Golden Son, sekuel dari Red Rising, lebih berdarah daripada buku pertamanya, tetapi gaya penulisan Brown semakin tajam dan sadis di sini. Buku ini jauh lebih banyak aksi daripada buku pertamanya, tetapi dengan twist yang menyakitkan di sana di sini. Golden Son terasa seperti Game of Thrones di luar angkasa. Tak ada seorang pun yang aman di buku ini, termasuk mungkin karakter utamanya. Membaca Golden Son seperti membaca The Art of War karya Sun Tzu. 



1. "The Martian" - Andy Weir

The Martian mungkin merupakan buku yang paling nge-hip sepanjang tahun 2014 lalu. Dengan premis cerita yang sangat grandiose serta lisensi film yang sudah dibeli dan akan dirilis bulan Oktober nanti, The Martian menciptakan sejumlah hype yang barangkali tak pernah Weir bayangkan saat ia menerbitkan buku ini secara indie pada tahun 2011. Namun, The Martian memang pantas menerima hype yang diperolehnya. The Martian menceritakan seorang kosmonot bernama Mark Watney yang secara tidak sengaja terdampar di planet Mars setelah para kru lainnya dalam misi yang diembannya harus membatalkan misi setelah adanya badai pasir. Mark harus berjuang untuk bertahan hidup meskipun planet merah seakan-akan berkomplot untuk menggagalkan setiap rencana yang ia buat. 

Heavily researched, The Martian berada dalam daftar terakhir buku yang sanggup membuat orang menangis. Tapi saya menangis. Saya menangis karena buku ini benar-benar luar biasa. The Martian tidak hanya mengangkat tema survival science fiction dengan narasi yang sangat teknis dan ilmiah, tetapi juga mengenai perjuangan umat manusia serta kesendirian. Membaca The Martian terasa seperti menonton Interstellar, terutama ketika kita menyadari betapa kita sendirian di alam semesta yang begitu masif dan besar ini.
Previous
Next Post »