Sylvia's Letters oleh Miranda Malonka

Miranda Malonka
Sylvia's Letters
Gramedia Pustaka Utama
194 halaman
7.8

Blurb
Ada surat-surat yang takkan pernah dikirim. Ada surat-surat yang telah dikirim dan mungkin tak pernah dibaca penerimanya.

Hidup mengajari Sylvia tentang obsesi. Persahabatan mengajarinya tentang masalah. Dan Sylvia yakin semua orang bisa diselamatkan dari masalah hidup mereka.

Hingga ia bertemu dengan Anggara, yang mengajarinya tentang cinta yang melepaskan ikatan. Dan untuk pertama kalinya Sylvia menyadari bahwa ia tidak bisa menjadi penyelamat semua orang.

Terkadang peraturan keselamatan tidak lagi berlaku ketika berkaitan dengan obsesi dan cinta.

Review
Dengan adanya kemajuan teknologi, novel epistolari sekarang enggak melulu ditulis dari surat. Dari surel, IM, catatan belanja, atau jurnal perjalanan, seperti yang Meg Cabot lakukan di serial Boys, yang sangat menginspirasi saya sampai saya pernah bikin epistolari serupa di sini atau mungkin, yang sebetulnya enggan saya sebutkan, dari linimasa Twitter. Yang pasti adalah saya selalu suka dengan cerita epistolari karena kita bisa mengintip isi surat/surel/jurnal/catatan belanja/IM/linimasa Twitter dari karakter di cerita tersebut, membuat ceritanya akan terasa lebih intim dan personal. 

Sylvia's Letters mungkin adalah buku yang paling lain dari lini young adult yang sudah terbit. Bukan hanya karena ditulis dalam bentuk epistolari, tetapi juga punya konflik yang paling kena dengan konflik young adult yang digadang-gadang konflik cerita yang lebih berat dan menggugah pemikiran pembacanya. Nggak ding, yang ini saya ngarang-ngarang aja wkwk. Tapi, setelah beberapa waktu yang lalu saya pernah ngomel-ngomel di sini soal konflik young adult yang bisa dibilang cimpi kaya Chiki (kalo kata temen-temen gaul saya), Sylvia's Letters yang bahkan karakternya masih SMA (hence, bikin batas young adult dan teenlit jadi kabur) bisa memberi konflik yang bahkan lebih berat daripada konflik yang dihadapi oleh orang-orang dewasa metropop. 

Tapi sebelum saya memuji Sylvia's Letters--karena sisa review ke belakang kebanyakan isinya pujian--ada beberapa hal yang kurang saya suka dari Sylvia's Letters. Saya suka dengan teenlit bule karena banyak banget yang ngangkat tema yang "gelap", yang penting, tapi terkadang kebanyakan orang Indonesia lebih memilih tutup mata dan pura-pura menganggap kalau masalah remaja--seperti seks praremaja, narkoba, alkohol, bullying, bunuh diri, anoreksia dan bulimia, gangguan metal, sibling rivalry, berantem ama orang tua, ataupun remaja yang tiba-tiba dateng ke sekolah bawa senapan dan nembak teman-temannya--itu enggak ada. Sylvia's Letters tentu saja jadi buku yang penting karena tema yang diangkat sesuai dengan masalah remaja yang gelap seperti yang saya sebutin sebelumnyakalau saja semuanya enggak ditumplek plek jadi satu, kecuali masalah penembakan di sekolah--kecuali kalau adegan "penembakan" nyatakan cinta itu diitung. Oh God sorry seharusnya saya enggak jadiin bahan bercandaan. Either way semua masalah remaja yang ada di atas sana dijejerin satu-satu kayak saya disuapin terlalu banyak makanan di pesta mantenan prasmanan; saya mau nyoba bakso, sama pelayannya enggak cuman dikasih bakso, tapi dikasih cendol, sate kambing, es buah, steak wagyu, ama coca cola. Hasilnya adalah masalah-masalah remaja berat itu tadi jadi kerasa kayak oversimplifikasi dan kerasa kayak plot device aja. Seperti masalah: 
soal adik Scarlet yang hamil padahal masih 13 tahun, dan penyelesaiannya adalah tiba-tiba dia memutuskan untuk aborsi sendiri? Kehamilan remaja itu hal yang beneran terjadi loh dan ini dampaknya luar biasa, enggak ke cuman sang calon ibu, tetapi si calon ayah, keluarga kedua belah pihak, dan juga masyarakat sekitar, dan masalah hamil remaja ini aja sendiri udah bisa jadi buku sendiriI know memang fokusnya lebih ke Sylvia dan masalah anoreksianya, tapi masalah yang dikurung spoiler itu tadi jatuhnya jadi plot device yang mengantarkan ke konflik Scarlet yang memutuskan bunuh diri karena ngerasa gagal jadi kakak yang juga plot device ke Scarlet yang mesti mendapat perawatan karena mengalami gangguan mental yang jatuhnya juga jadi oversimplifikasi. Enggak cuman jadi plot device aja, masalah yang bertubi-tubi tadi jadinya enggak selesai, seperti masalah Andy dan keluarga

Tapi meski demikian, Sylvia's Letters masih jadi buku yang bagus. Surat-surat yang ditulis oleh Sylvia terasa intim dan penuh jiwa, meskipun saya kadang enggak suka kalau Sylvia udah mulai berkontemplasi dan pretensius. Sylvia karakter yang sangat quirky dan Malonka dengan bagus menuangkannya ke dalam surat-surat Sylvia. Konflik utamanya soal anoreksia juga sangat penting, karena memang betul remaja adalah masa-masa insecure (saya juga, sih, masih insecure sampai sekarang) yang bener-bener peduli banget apa kata orang, yang bener-bener enggak percaya diri sama dirinya sendiri, tapi juga terkadang remaja juga terlalu percaya diri sampai dia jatuh ke dalam masalah. Tapi dengan gaya epistolari ini, Malonka seakan-akan menuliskan pengalamannya secara intim mengenai jatuh cinta pertama kali, mengenai ketidakpercayadirian, mengenai anoreksia yang sangat dekat dengan dunia remaja, dan Sylvia mungkin jatuh ke dalam lubang, tetapi itu terjadi biar para pembacanya enggak mengalami apa yang Sylvia alami. Jalinan plotnya tersusun dengan rapi, dengan ending yang sangat memuaskan dan epilog yang bikin saya sedih dan termenung. 

Sylvia's Letters jelas-jelas buku dari lini young adult terbaik yang pernah saya baca sejauh ini, by far. Buat saya, cerita epistolari by default, dapat empat bintang, dan meskipun saya enggak terlalu suka dengan konflik/masalah yang bertubi-tubi yang ada, saya tetap memberi buku ini empat bintang.

Previous
Next Post »